Selasa, 17 Februari 2009

KEARIFAN INDUSTRI KERJAINAN KAYU JAWA versus KEHANCURAN EKOSISTEM (Peradaban) Kalimantan, Sumatera

Tari Kancet Ledo (Kelembutan Putri Dayak) Kalimantan
Tari Kancet Papatai (Tari Perang)
Noorlailie Soewarno
Tulisan Cyber friends:
Sunan Mursyid & Noorlailie Soewarno

Kearifan, keuletan dan cermat dalam mengelola, dan seterusnya mengolah hasil sumber alam hutan di Jawa, telah menghasilkan “meubel, karya seni ukir & berbagai aksesori dari kayu” yang bukan saja dinikmati oleh masyarakat Indonesia, namun juga menembus Eropa, AS, Jepang dan mancanegara. Bahkan dengan hasil kayu Jawa dan seniman, pengrajin serta industri Jawa, juga berperan dalam andil “membesarkan” produk-2 yang “branded” menduina: DaVinci, Viveri, DuPoint, Ligna dlsb. Hasil kayu unggulan (jati & mahoni) dan “masyarakat Jawa” seolah lengket (complementaris). Namun sayangnya, hanya sebatas Jawa, dan tidak “ditularkan” kepada saudara-saudara diluar Jawa, yang kaya hutan (Sumatera, Kalimantan & Papua) kini hancur.
Mungkin usia dan typology social sesorang atau masyarakat menentukan kematangan & pengalaman dalam mengelola sumber daya (asset, uang, harta, lahan dlsb) yang dimilikinya. Jawa, sebagai daerah Pulau dengan typology social masyarakat “nJawani” bisa menjadi contoh “ketuaan & kematangan serta pengalaman”. Ambil contoh dalam mengelola “hutan produksi dan mengolah hasilnya: kayu, getah & hasil hutan. Hutan produksi di Jawa sekitar 1,5 juta hektar, yang hamper semuanya dikelola oleh PT.Perhutani, yang meliputi tanaman mayoritas Jati & Mahoni, dengan hasil kayu. Tanaman Agatis, Pinus dan Rasamala hasilkan kayu & getah. Untuk wilayah Banten, sudah mulai tanaman Akasia Mangium. Pengelolaan hutan produksi di Jawa, sejak 1990an sudah memperoleh sertifikat “Eco Labelling”, yakni hasil hutan berupa kayu, sudah diakui sebagai output produksi tanaman “budidaya” yang dikelola, dengan pola penanaman & penebangan bergilir dalam siklus 35 hingga 50 tahun. Jadi dengan luas 1,5 juta ha, Jawa setiap tahun menebang sekitar 20 ribu-25 ribu hektar hutan yang ditanam yang tersebar lebih 40 Kabupaten di Jawa. Berari Pulau~Masyarakat Jawa “menanam & menebang” dan menghasilkan kayu sekitar hampir 1 juta m3 setiap tahun “rutin~berlangsung terus menerus~tanpa putus” (sustainable). Dengan sertifikat “Eco-Labelling”, produk kayu, meuble & kerajinan dari Pulau Jawa, bisa diterima hampir di seluruh pasar Eropa, AS dan berbagai belahan dunia. Apakah produk tersebut “murni dimiliki oleh asli orang Indonesia / Jawa”??

Dalam perjalanannya, keunggulan “pengelolaan hutan produksi” dan industri+kerajinan Jawa, hamper sama mengalami saudara sekandungnya, Batik. Mereka dibiarkan “bebas bertarung dengan kekuatan Kapital dalam alam sangat Bebas & Liar”. Elit Pemerintah, akademisi, pakar Indonesia justru membiarkan mereka “bertarung bebas” dalam alam Liberalisme dengan aturan: Tanpa Aturan. Bahkan membiarkan keunggulan diserang terjebak dalam jebakan “WTO: World Trade Organization” dan Pasar Bebas. Saking bebasnya, berbagai pengusaha Korea, Spanyol, Jepang, Singapura dlsb dengan mudahnya Investasi, membuka pabrik….hingga “Kawin/ Beristeri” dengan para Wanita Jawa di Jepara, Solo, Klaten, Semarang dlsb !, untuk “mensiasati” izin usaha & investasi di Indonesia. Pakar dan “interest group” (Media besar, Power Centre) di Indonesia ikut melindungi pengusaha-pengusaha asing dengan dalih “Butuh Investor dan Free Trade”. Ringkasnya: Industri, kerajinan & seniman rakyat bertarung dengan “Kekuatan Sistemik, Integrated Pemodal & Jaringan Pasar”. Akibatnya, industri kayu dalam kelas UKM kini sebagian besar masuk dalam produk-produk untuk konsumsi dalam negeri dan sebagai “sub kontrak” dari pengusaha asing. Meski demikian, muncul juga pengusaha-2 baru yang berhasil, dan menembus pasar internasional, karena berbagai keunggulan yang dimiliki: Entrepreunership, modal, pengolahan dan Art atas desain produk. Namun jumlah nya terbatas. Pertanyaannya: Mengapa bisa terjadi demikian ?. Ya, karena tiadanya Sistem – Skenario Pemerintah yang “matang” dalam melindungi & membesarkan “rakyat/anak kandungnya”. Coba liat di Australia, Negara-2 Arab, Singapura dlsb, apakah demikian liar-bebas?. TIDAK.

Nah sekarang kita tengok bagaimana pengelolaan hutan di Kalimantan, Sumatera & Sulawesi & Papua. Hutan penghasil kayu di wilayah tersebut adalah hutan alam. Dalam periode 1970-2000, pengelolaan Hutan~ suatu istilah Lembut yang Menyesatkan, kecuali hanya Menebang, menebang & menebang, dikelola oleh Pemerintah pusat dengan Izin HPH. Hutan ibarat seperti Kue besar yang jadi Bancaan oleh Elit-elit di Pusat dan bekerjasama dengan kekuatan Modal. Hak-hak “KEPEMILIKAN” Adat Rakyat daerah DILIBAS HABIS” dengan Peraturan Pemerintah Pusat. Seluruhnya dikemas dan dilindungi dengan dalih “PEMBANGUNAN NASIONAL”. Selama 3 dekade…dan hingga kini, sudah 83 juta hektar ditebang Penebangan hutan seluas 70 x luas hutan Perhutani di Jawa, seolah sudah menyumbang Devisa Negara dan membayar Dana Reboisasi…Namun sebagian devisa yang dihimpun itupun kini sudah “AMBLAS DIRAMPOK” para Pengemplang BLBI yang KABUR ke luar negeri dan yang masih menunggak Rp.900 Trilyun. Dana reboisasi yang dihimpun pun juga jdi bancaan…Hutan seluas 83 juta ha, mungkin tidak sampai 100rb ha yang ditanami (kurang 1 permil). Pengelolaan hutan bisa diibaratkan oleh Sistem HOMO HOMINI LUPUS. Pada era 1980an, didirikan PT.Inhutani (meniru konsep Perhutani di Jawa), tetapi Hutan ditebang, Modal Habis, Hutang ke BLBI dikemplang , Bangkrut dan PT.Ihutani di bubarkan.

Jatuhnya Orde Baru, seolah mendatangkan euphoria daerah. Pada periode 1999-2004, dengan Desentralisasi pengeluaran Izin HPH dan IPK, terjadi “PERCEPATAN” penebangan yang sangat Fantastis, khususnya di Kalimantan & Papua. Kayu Merbau, Ebony, Ulin, Ramin dilibas. Hanya dalam waktu 2 tahun, Negara RRC bisa menumpuk stok kayu dari Papua 5 juta m3 !!! Dan kini produk meubel RRC menyerbu mancanegara & Indonesia dengan pola ½ ukiran mesin dan harga lebih murah. Melihat “Ambur Adulnya” system “Bad Governance” di Indonesia pada masa Megawaty & Hamzah Has, Pemerintah Malaysia, Singapura, RRC menempuh siasat “Melegalkan” semua log (kayu gelondongan, enggak peduli kayu Maling, illegal logging dari Indonesia. Bahkan yang sangat gila: para penebang liar Malaysia bekerja sama secara sistemik dengan aparat-aparat Pemda di Kalimantan, Papua dan Sulawesi…..sampai-sampai mengerahkan puluhan alat berat, tongkang dlsb. Yang bisa bisa sangat menghawatirkan bulu kuduk kita: Bisa menggeser Tapal Batas Negara !!!

Dari Uraian diatas….kini menyisakan : Kerusakan Alam yang hebat di Kalimantan, Sumatera & Sulawesi, bahkan peradaban masyarakat di daerah tersebut. Sungai-sangai alami pendangkalan hebat. Musim Hujan, Sungai-sungai meluap, berbagai Kota alami Banjir. Musim Kemarau alami kekeringan. Masyarakat Dayak di pedalaman selalu diusir usir di tanah Leluhur-Kelahirannya. Berbagai ekologi lingkungan terputus. Pranata social-ekonomi rakyat daerah yang membentuk suatu “Peradaban masyarakat yang berbudaya hampir tidak terbangun. Dalam Sosial ekonomi, Ringkasnya: wilayah penghasil hutan tetapi Tidak terbangun “Sistem Budaya Ekonomi, Industri, Pengarjin & Seniman Perkayuan Masyarakat” daerah seperti halnya di Jawa. Sumber alam hutan, seolah ditebang habis, dan selanjutnya Pemerintah, Akademisi, Pakar di Pusat dengan “ANGKUH & GENITNYA” bicara Sukses Angka Pertumbuhan Ekonomi Nasional yang dicapai dalam angka-angka prosentase !., dengan peninggalan: Kehancuran Ekosistem, Masyarakat dengan Tumpah Tanah Darahnya. Apakah yang bisa diperbuat dengan Program Departemen Kehutanan yang dikemas dalam GNRHL dengan alokasi Rp.12 trilyun tiap tahun ?? Sangat tidak signifikan…untuk mencapai perbaikan 1-2%dari 83 juta hektar saja !. Kini seolah hendak dikejar way-out jalan pintas: Konversi bekas hutan menjadi Lahan Perkebunan…CPO, tanpa perencanaan matang implikasi terhadap ekosistem dan social dalam jangka menengah-panjang, atau perencanaan yang menjamin “keberlangsungan” jangka panjang.
Fase awal akhir tahun 1990an dan awal tahun 2000, Peradaban di Kalimantan Tengah dan Barat bahkan meningalkan malapetaka yang sangat memilukan: terjadinya genocide (pembantaian) etnis Madura, dengan jumlah melebihi 5.000 orang. Suku Dayak yang selama ini hidup harmony ditengah alam hutan, banyak terusir-usir dengan HPH, dan aktifitas ekonomi di Kota pun sulit "terlibat", karena kalah maju & kalah sigap dari pendatang. Tarian Kancit Papatai suku Dayak (Tarian Perang) yang selama ini hanya diperankan dalam upacara Adat..menjadi tarian perang sesungguhnya yang sangat sangat menyedihkan, berub ah menjadi "Dancing Death" terhadap suku pendatang.
Sebagai mahluk sosial yang belajar ekonomi, sejatinya harus menyadari, bahwa masalah ekonomi sudah harus melepaslkan diri dari sifat angkuh & steril: Bahwa ekonomi tidak hanya pandai bicara “angka”, apalagi angka pertumuhan (growth). Dengan demikian, saatnya kita mulai putar haluan, kita harus memahami ekonomi yang berdimensi lingkungan dan social. Pemahaman tentang Hutan produksi di Jawa dan keterkaitannya dengan Industri-pengarjin kayu Jawa adalah contoh riil, tentang Ekonomi-Ekosistem yang dapat menjadi contoh untuk pengelolaan hutan di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Yang lebih penting, melepaskan diri mahzab pemikiran tentang Ekonomi Pembangunan Kapitalis.. Liberal yang menyesatkan dan menghancurkan, karena tiadanya “Pemihakan pada Anak Kandung Rakyat dan Roh Keberkahan Sosial” dalam Mahzab pemikiran tersebut. Harusnya kita malu & belajar dari Keterpurakan AS kini, mereka sudah bakal menjalankan Ekonomi Syariah…sebagai koreksi kegagalan Ekonomi Kapitalis.

Thanks mBak Lailie atas bahan2: Batik Lasem, Riwayat Industri Ukir Kudus dll..sangat-2 berharga !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar