Ucik Reni yang Muaniss sedang sampaikan Orasi Super Ilmiah
di tengah malah dg Api Unggun !
MERDEKA DARI PENJAJAHAN BARU: FUNDAMENTAL ERROR PEMIKIRAN EKONOMI-PEMBANGUNAN INDONESIA
Sunan Mursyid Santoso
Keadilan, adalah satu kata yang secara latent dikhianati oleh para Elit (politisi & Pemerintah) dan kata kunci yang paling lemah disadari-difahami oleh sebagian besar rakyat, termasuk generasi muda, untuk diyakini sebagai hak-hak mendasar yang harus diperjuangkan, diperoleh dan dirasakan demi untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Keadilan dalam masa Orde Baru – telah digeser oleh azas Pertumbuhan yang ternyata lebih besar menghasilkan konglomerat–koruptor -perampok yang menyengsarakan rakyat. Kini, keadilan juga mengalami nasib lebih buruk, selain diingkari aspek pemihakan-pemerataan sosial-ekonomi, rakyat (petani, nelayan & pedagang) dibiarkan bertarung bebas dengan kekuatan global internasional. Nasib sial seolah menjadi milik Rakyat, sudah jatuh ketiban tangga. Kata rakyat bahkan telah diolah secara trendy oleh PDIP dengan kata Wong Cilik ~ yang menjadi trade-mark dalam jargon kampanye PDIP yang seolah memihak rakyat. Akibatnya, dengan pengingkaran keadilan dalam masa Pemerintahan Megawaty, wong cilik makin kerdil, makin miskin, makin hina dan makin lemah baik fisik maupun mental.
Sejak 1998 saat akhir Pemerintahan Soeharto, hingga Megawati, keadilan harus dikorbankan oleh segerbong agenda untuk penyelesaian masalah kronis bangsa-negara: yakni membayar utang, privatisasi, prestasi mengejar pemasukan negara, memelihara momentum pertumbuhan, pengurangan campur tangan Pemerintah (Liberalisasi), menjaga stabilitas nilia tukar Rupiah dlsb. Pengingkaran keadilan yang sangat luar biasa menyolok adalah :
¨ Alokasi & distribusi dana BLBI, Kredit program Pemerintah dan Proyek-2 APBN, proyek-2 BUMN yang sebagian besar untuk pengusaha besar. Setelah macetpun, pengusaha besar memperoleh keringanan dan pengampunan,
¨ Sedang alokasi & distribusi BLI dan Kredit Program serta APBN untuk sektor kecil-menengah tidak mencapai 20%. Setelah macet, tidak ada keringanan dan dipaksa asset (yang berupa rumah tinggal) disita dan dilelang.
Mempelajari pengalaman perjalanan pembangunan selama 38 tahun terakhir, kita-rakyat harus mampu mengelola, mengorganisir diri dan memperjuangkan paradigma pembangunan yang bekeadilan – yang memihak rakyat mayoritas Indonesia. Oleh karenanya, kita harus mampu mengkoreksi kesalahan dan manipulasi dasar pemikiran paradigma pembangunan yang ada yang dapat diuraikan dalam penjelasan berikut :
Pemikiran yang mendasari konsep pembangunan nasional – sejak 1966 hingga kini, lebih banyak dipengaruhi pemikiran materialisme atas hasil ekonomi dan pembangunan fisik untuk kebutuhan kehidupan bangsa. Prinsip-kaidah pemikiran ini minim mengakomodasi aspek pembangunan non-fisik yang selain menjadi kebutuhan manusia, juga menjadi dasar kekuatan keberhasilan pembangunan ekonomi – fisik. Implikasi selanjutnya, kita telah termanipulasi pendekatan demikian, sehingga aspek-aspek mendasar manusia sebagai pelaku dan sebagai tujuan-sasaran pembangunan tersebut menjadi sangat kecil (minim). Aspek dan kaidah pembangunan ekonomi-fisik dan non fisik harusnya menempati kesejajaran dalam porsi perhatian dan alokasi-distribusi dalam kebijakan serta pelaksanaannya. Kita lihat prinsip dasar pradigma dan aspek-2 pembangunan sbb:
Pembangunan Non-Fisik: Manusia
1. Pelaksanaan Komitmen-Amanat:
Keadilan, Keamanan, Aspirasi
2. Pendidikan, Kesehatan,
3. Prasarana-Sarana Kesehatan:
Rumah Sakit, Klinik, Olah Raga
4. Dukungan Pengembangan Sosial:
Hiburan, Seni-Budaya, Adat dll
5. Perlindungan Pelaksanaan Agama
6. Dukungan Kreatifitas, R & D dll
Pembangunan Ekonomi:
1. Produksi
2. Investasi
3. Income
4. Konsumsi
5. Tabungan
Pembangunan Fisik:
1.Prasarana: Jalan, Pelabuhan, Jembatan
2. Gedung, Kantor, Hotel, dll
3. Sarana Utilitas :
Listrik, Air Minum, Telekomunikasi dll
Atas dasar tabel dalam boks diatas, ada kesalahan mendasar dalam Paradigma Pembangunan yang ditetapkan sebagai Strategi dan Berbagai Kesalahan dalam pemikiran yang melandasi pembangunan ekonomi. Kesalahan tersebut telahn ditempuh sejak Orde Baru hingga kini dibawah presiden SBY sbb:
1) Paradigma pembangunan yang telah menjadi dasar strategi pembangunan, tidak menempatkan prinsip dasar bahwa manusia sebagai penentu, pelaku dan sekaligus sebagai tujuan-sasaran pembangunan tersebut. Manusia tidak dipandang dan tidak diberikan kepadanya suatu kepribadian agar ia menyadari bahwa ias adalah sumber kekuatan yang tak terbatas atas seluruh nilai tindakan yang tak terbatas. Implikasinya: manusia dan sejumlah manusia yang disebut rakyat atau penduduk hanya ditempatkan sebagai kuantitas (jumlah) manusia dengan kualifikasi fisik belaka. Kita bisa lihat betapa kering-gersang Ilmu Kependudukan di Fak.Ekonomi, yang hanya mempelajari manusia pada jumlah penduduk , struktur umur-jenis kelamin dlsb, yang tidak pernah dipelajari faktor jiwa-kepribadian baik-buruk cerdas-kurang pada manusia itu sendiri. Paradigma yang tidak menempatkan manusia sebagai faktor utama, kemudian menurunkan strategi pembangunan non-fisik sebagai dasar paradigma pembangunan dengan turunan pembangunan ekonomi-fisik.
2) Dalam penetapan strategi-kebijakan pembangunan non-fisik, akibatnya terjadi kombinasi Pengingkaran dan Kesesatan jiwa & pemikiran tentang Pembangunan Non-Fisik, yang menetapkan prinsip dasar berikutnya bahwa rakyat memiliki hak yang sama dan sebagai subyek serta tujuan-sasaran (prinsip keadilan). Pengingkaran terhadap manusia-rakyat-bangsa telah mengorbankan prinsip keadilan, dengan menempatkan prioritas pembangunan fisik-ekonomi sebagai kaidah dasr. Dengan dalih (alasan) bahwa rakyat Indonesia cukup bisa makan (diberi beras) sudah dianggap adil, maka Pemimpin dan Pemerintah menetapkan Pembangunan Ekonomi-Fisik sebagai landasan & soko guru pembangunan. Paradigma pembangunan demikian masih berlangsung hingga kini, yang mempertaruhkan nasib 160 juta rakyat yang kini hidup dalam kemiskinan struktural & lingkaran setan. Pembangunan Non-Fisik yang bertujuan membawa kemajuan manusia (cerdas, sehat, aman ) dan kesejahteraan (kebahagiaan dan maju), hanya memperoleh porsi perhatian yang hanya mencukupi untuk manusia Indonesia maju pelan-pelan, dan akibat krisis nasional, bahkan mayoritas rakyat hanya bertahan hidup (menyambung nyawa).
3) Kesalahan paradigam mendasar diatas, menjadikan pembangunan fisik-ekonomi, memperoleh porsi perhatian dan alokasi yang sangat besar mencapai 75% dari total alokasi pembiayaan, baik dana perbankan dari BI, Bank Komersial,proyek-proyek APBN serta BUMN. Dari alokasi 75% tersebut, sebagian besar (lebih 75%) disedot-dirampok Elit2 Birokrat dengan kroni konglomerat besar yang hanya meliputi kurang 2% penduduk atau sekitar 5 juta jiwa. Sedang sisa dana yang 25% untuk 196 juta jiwa akibat pengingkaran (butir-2 ).
4) Dasar pemikiran pembangunan ekonomi-fisik pun juga berlandaskan pada pemikiran dan pendekatan yang salah dalam memandang rumusan ekonomi makro yang rintis oleh Adam Smith, dengan perumusan :
Y=C+S+I dimana Y=Produksi/pendapatan nasional, C=Konsumsi,
I=Investasi dan S=Saving atau Tabungan.
Dengan dasar pendekatan demikian, produksi / penghasilan ekonomi nasional secara sederhana dirumuskan sebagai simbol Y. Kemudian ekonomi direncanakan atas dasar jumlah penduduk yang tumbuh dan produksi nasional yang diharapkan tumbuh agar mencukupi kebutuhan penduduk yang tumbuh tersebut. Perencanaan ekonomi nasional kemudian melakukan penyederhanaan dengan merereduksi rumusan diatas dalam pendekatan matematis berikutnya. Apabila Y (produksi) diharapkan / direncanakan tumbuh 5% per tahun berarti dengan mempertimbangkan penduduk naik 2%, Konsumsi diasumsikan 80% dari produksi dan tabungan sebesar 10% dan sisanya diinvestasikan (I) sebesar 10%. Atas dasar pola tersebut secara nasional membutuhkan modal atau Investasi (I) sebesar 5 kali dari pertumbuhan 5% yang akan dicapai. Kebutuhan Investasi (I) sebesar 5 kali pertumbuhan diperoleh dari pembagian bilangan 1 dibagi selisih (marjin) kecenderungan konsumsi (MPC-Marginal propensity to consume). Apa tindak lanjut dari keyakinan yang berlebihan dari paradigma pembangunan yang mengingkari faktor manusia dan penyederhanaan diatas ?.
Kita menyaksikan: Pemerintah Indonesia selalu dan selalu menambah Investasi dengan berhutang (pinjaman=loan) dari mancanegara dan IMF. Demikian pula swasta. Setelah dana diperoleh dalam jumlah besar, apakah yang kemudian sebenarnya terjadi ?. Ada 3 jawaban:
a. Secara mendasar Indonesia memiliki sumber daya alam yang besar berupa tam bang Migas, Batubara, Lahan, Bahan Logam dan Sumber enegeri Primer, bernilai jutaan trilyun rupiah. Seharusnya Indonesia MENEPATI AMANAT KONSTITUSI UUD 35 Pasala 33, dengan melakukan Sekuritisasi SUuber ALam tersebut, untuk menarik Modal untuk Pembangunan dan Usaha BUMN. --> BUKAN MELAKUKAN HUTANG LUAR NEGERI atau Mengundang Investor dan menjual murah sumber alam Indonesia --> Inilah sejatinya KESALAHAN MENDASAR !!
b. Untuk sektor pertanian: Selama PJPT I menunjukkan kinerja yang baik dengan dicapainya Swasembada Pangan akibat keberhasilan Pertanian. Penambahan modal untuk Bendungan, irigasi, pupuk, pembasmi hama serta sarana produksi dapat memacu produksi (penghasilan) pertanian. Namun terdapat kesemuan dalam sektor berikut:
Sektor perkayuan dari hasil hutan: menampakkan kemajuan Industri Kayu yang semu, sebab: Harga kayu yang berupa setoran Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan (IHH) dinilai sangat rendah, dan penebangan kayu hutan alam tidak diimbangi dengan usaha reboisasi (perusakan hutan), Demikian pula perikanan. Sedang sektor pertambangan – migas – produksi (penghasilan) diperoleh dari kontrak bagi hasil dengan Kontraktor asing yang tidak menjadi beban kewajiban hutang. Meskipun demikian, sektor primer inilah yang sebenarnya memberikan pemasukan terebesar dalam produksi nasional.
c. Tetapi untuk sektor Industri ? Ternyata, pabrik-pabrik besar yang ada (tekstil, petrokimia, besi-logam, automotif, elektronik dlsb) menjadi sektor yang menghisap devisa, karena komponen impor yang sangat besar. Tingkah laku pasar internasional, motivasi pengusaha, kemajuan teknologi, kurang diperhitungkan dalam rencana yang bersifat dinamis.
d. Adanya salah asumsi dan salah kajian-analisa pada faktor Watak pelaku Ekonomi skala besar (konglomerat) dan Penyakit Korupsi Pejabat Pemerintah, yang ternyata dalam mengajukan proposal, nilianya sudah dimark-up dan sebagian dananya sudah dilarikan keluar negeri dan sebagai Fee (komisi) Pejabat. Aspek korupsi lepas dari perangkat analisa ekonomi kita yang hingga kini belum pernah ada pengakuan.
e. Pengingkaran terhadap adat istiadat, kebudayaan lokal, keunggulan lokal serta seni budaya masyarakat di berbagai daerah, bahkan pengkhianatan hak-hak adat tentang kepemilikan lahan/tanah oleh masyarakat dan pranata sosial lokal.
f. Mengingat yang dikejar produksi nasional, maka tambang-tambang strategis (minyak, gas, tembaga, emas, timah) telah dikuasai oleh kekuatan modal dari luar / asing (Timika -Freeport, Kaltim, Riau, Cepu, Natuna, NTB dll). Kecenderungan yang kini sudah diluar kendali kita: adalah mulai melemahnya kedaulatan Indonesia atas wilayah-wilayah tersebut.
Secara medasar, penerapan rumus diatas sama sekali tidak memperhitungkan faktor sosiologi pelaku : Pejabat Pemerintah & BUMN, Pengusaha, Perangkat Hukum serta Aspek Mikro Dinamis tingkah laku pasar Industri. Dengan demikian, kombinasi Pengingkaran dan kesalahan dasar paradigma pembangunan ekonomi harus kita kaji ulang dan kita susun dengan Paradigma Yang membawa Keadilan bagi Rakyat. Adopsi rumus yang menyederhanakan pembangunan ekonomi diatas, mengabaikan sejumlah asumsi tentang tingkah laku, kondisi ketidak sempurnaan informasi, kemajuan-inovasi teknologi, persaingan pasar, jebakan bunga & skenario dan faktor-faktor sosial yang bermuatan sistem nilai – yang sangat-sangat sulit diakomodasikan dalam perumusan matematis yang begitu disederhanakan dalam pemikiran ekonomi!.
Penyederhanaan dan pemberlakuan umum dalam perencanaan pembangunan ekonomi sudah harus dihentikan, dan diganti dengan konsolidasi perencanaan mikro-detail (sebagaimana Malaysia) pada tingkat komodity, lokasi, aspek dinamis pasar serta pelaku ekonomi dan pejabat Pemerintah. Selanjutnya, perencanaan pada tingkat mikro komodity harus mencakup strategi industri pengolahan dalam rangka pemerolehan nilai tambah yang besar dalam skedul waktu yang pasti & konsisten. Keengganan (kemalasan) dan kelemahan dalam perencanaan mikro ini dapat kita rasakan dampak buruk yang hingga kini kita rasakan pada komoditi Sawit, Coklat, Karet, Hasil ikan, tambang emas-tembaga-nickel-besi, yang memiliki nilai jual rendah dan selalu dipermainkan oleh pasar ~ atau hanya ditentukan (price taken).
Dari uraian diatas, sudah saatnya kita melakukan perurubahan atas paradigma pembangunan nasional yang masih diyakini dan dijalankan hingga kini, dengan Paradigma Pembangunan Yang Berkeadilan dengan prinsip / kaidah dasar-dasar berikut:
1) Pembangunan Nasional Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia, oleh karenanya manusia (rakyat) merupakan pusat dan faktor utama dalam membawa kemajuan dan kesejahteraan Indonesia. Implikasinya, dalam perencanaan pembangunan, baik nasional (makro) maupun daerah (mikro), kajian-analisa tentang aspek dasar rakyat menempati kaidah dasar dalam nilai kelebihan & kekurangannya yang tidak terbatas.
2) Pembangunan bertujuan untuk kesempatan dan kemanfaatan yang seadil-adilnya bagi rakyat Indonesia, dan untuk kesejahteraan bagi seluruh rakyat, secara berkelanjutan dengan dilandasi prinsip-prinsip nilai kebenaran, kearifan sesuai hak-haknya. Segala tindakan-kebijakan-program Pemerintah yang melakukan pengingkaran manusia-rakyat Indonesia merupakan kejahatan yang sangat besar.
3) Sumber kekayaan didalam bumi, air, lautan, hutan, tanah dan kekayaan lainnya dikuasai oleh negara yang meliputi Pemerintah dan Rakyat Indonesia, oleh karenanya hak-2 pengelolaan dan peruntukan kemanfaatannya adalah untuk sebagian besar (mayoritas) bangsa dengan cara yang seadil-adilnya. Adapun yang menyangkut konsesi dan kepemilikan harus mengutamakan masyarakat Indonesia (publik) sebagai yang memiiliki kepentingan utama.
4) Perencanaan pembangunan Indonesia sudah saatnya dikelola oleh sumber daya manusia Indonesia yang berpikir dan berjiwa negarawan untuk bangsa-negara Indonesia, yang memiliki kualifikasi berikut:
a. Berjiwa dan berpihak pada mayoritas manusia-rakyat Indonesia sebagai pemberi amanat / mandat pada Legislatif dan Pemimpin untuk kemajuan rakyat,
b. Berjiwa arif-bijaksana & jujur yang hanya akan mengambil–memakan atas hasil kerja dan prestasinya,
c. Berpikir rasional-ilmiah secara mikro, terinci atas dasar kondisi sosial mayoritas rakyat (160 juta jiwa) yang terbelakang dan potensi pengembangan pribadi manusia mayoritas tersebut dalam mencetak nilai tambah.