Wimmy, me, Asma Savitri dan Chika ~ bintang ALNI (di Ken Aam)
“Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, bunyi pasal 34 UUD 1945
Beberapa hari yang lalu, saya telah berkenalan dengan “Alangkah Lucunya negeriku ini” di salah satu bioskop di kawasan Tamalanrea, sebuah film garapan Deddy Mizwar yang ramah memotret sebuah kisah kehidupan jalanan yaitu para pencopet dengan berbagai tingkah polahnya sekaligus tajam mengupas problematika dalam kehidupan berbangsa. Film hasil kolaborasinya dengan penulis Musfar Yasin ini juga bisa diteropong dengan banyak kacamata: ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kriminalitas, generasi muda, dan agama. Isu pengangguran, kekerasan, dan semangat materialism juga sempat tersentuh.
Sebelumnya, saya sempat penasaran dengan film ini sebab untuk pembuatannya saja, Deddy Mizwar harus membutuhkan kurang lebih 9 tahun dalam menyelesaikan segalanya. Apalagi ketika saya membaca reserensinya di sebuah majalah yang menyebutkan aktor yang terlibat dlam ALNI 70 % adalah anak jalanan, rasa penasaran saya semakin terlantar.
Setelah duduk dan menyaksikan adegan-adegannya dari Seat 12 Row A, saya tersadar baru saja menengok Muluk dan kawan-kawannya yang luar biasa bisa mengubah para pencopet cilik untuk tidak lagi mencopet dan hijrah ke usaha yang halal dengan cara yang “revolusioner”, sehingga para pencopet cilik itu bisa pintar, hafal dua kalimat syahadat, hafal Pancasila dan juga bisa sholat dan mengaji dan dalam perjalanannya saya menemukan “halal “ dan “haram” di seterukan yang bersumber pada 10 % hasil dari copet untuk diputar dan ditabung oleh muluk dkk dan ibu dari Pipit yang tidak punya pekerjaan selain mengisi TTS dan game watch menjawabnya dalam adegannya yang sedang mengisi TTS dan menanyakan kepada Sang Suami tentang “halal dan “haram” itu siapa yang menentukan? Bukan MUI, bukan juga Saya melainkan Allah SWT. ini adalah kepingan dari semangat religius dari ALNI. Saya juga menengok beberapa fragmen dari ALNI yang mungkin merupakan tema khususnya dimana problematika kemiskinan yang salah satunya di tukangi oleh tindakan korupsi, alangkah sulitnya kehidupan anak-anak itu untuk menyambung nafas mereka dengan jalan mencopet dan yang ironisnya dicopet pula hak-hak mereka oleh koruptor yang jauh lebih berpendidikan dan lantas terdengar suara satir dari Muluk kepada Syamsul yang menyesal telah menjalani proses pendidikan yaitu : “Pendidikan itu penting. Karena berpendidikan, maka kita tahu bahwa pendidikan itu tidak penting!”
Dan yang paling meletupkan sanubariku, di kala pencopet yang tengah mengadakan upacara bendera. Begitu lagu kebangsaan Indonesia Raya berhenti, “Hiduplah Indonesia Raya”…tiba-tiba yang paling kecil menyeletuk:”Amin!”, sembari menggerakkan tangannya mengusap wajah, layaknya berdoa.
Kurang lebih 115 Menit saya berbincang-bincang tanpa kata dengan ALNI, namun pertemuan ini bagiku terlalu banyak menyimpan kata apalagi rasa...
“Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, bunyi pasal 34 UUD 1945
http://lavienola.blogspot.com/2010_05_01_archive.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar